Teungku
Muhammad Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar Aceh. Bersama ulama
lain pada zamannya, beliau berjuang mengibarkan dan menegakkan panji-panji
Islam di bumi Aceh. Sebagaimana yang pernah dituturkannya kepada Boyd R.
Compton dalam sebuah wawancara :
"Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian.
Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi
Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan
militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam.
Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang
ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd R.
Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)
Siapakah Dia?
Ia
dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama
"Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh
adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang
ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat
setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud
Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh
dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir
saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid
kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya
yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.
Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua
nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini
sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah bila besar
nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang
siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak
memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti:
Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan
kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam
dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat
anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih
dalam suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga
masyarakat Aceh.
Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud
ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama
Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang
sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu,
serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini,
tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.
Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan
Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu
menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda.
Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah
membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).
Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar
karena ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala
sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan "mendirikan shalat".
Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam
secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia
menjadi orator ulung, sebagai "Singa Podium." Ia
mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh.
Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian
orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja.
Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya.
Gampong adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh
perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas
resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai.
Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam
perlawanan tersebut.
Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan
Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep
tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya
organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang
dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas
inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk
sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang
Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud
Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai
organisasi politik ulama berarti juga secara De facto menjadi "Bapak
Orang-Orang Aceh".
Semenjak
itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam
pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan
di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat
hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh
raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton,
"M.
Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia,
dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama
akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi
besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Dekat. Kaum
Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia,
sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka
tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."
Langkah
awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah
dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal
kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno
dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh
orang-orang sebagai "Bapak Darul Islam".
Daud
Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun
revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan
Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya
--tampaknya seperti pensiun.
Setelah
Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji Pancasila,
Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta
sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan
ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia
mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud
Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah
bernada mendukung ide Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan
--membuat takjub penduduk Medan yang sudah maju-- membangun sebuah tembok besar
dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak
sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia
menyandang gelar teungku.
Teungku
Daud Beureueh adalah "Bapak Orang-Orang Aceh" yang tetap tegar meski
dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta. Dengan postur tubuhnya yang kurus
tapi kuat, ia adalah tipe manusia ideal. Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari
bawah pecinya, rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya
yang muda dan coklat kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak
yang blak-blakan. Misal:
"Saya
tanya, apakah pemerintahan seperti itu mampu mengatasi masalah-masalah Aceh
sekarang ini? Ya, ambillah pengairan sebagai contoh. Pada zaman Iskandar Muda,
dibuat saluran dari sungai yang jauhnya sebelas kilometer dari sini menuju
laut. Daerah Pidie menjadi sangat makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh
dari yang pertama, keduanya dikerjakan oleh ulama. Beda dengan ulama zaman
sekarang, pemimpin-pemimpin di masa itu tak takut sarung mereka kena lumpur.
Sekarang saluran-saluran itu sudah rusak, dan hasil panen padi merosot. Sebelum
terjadi perang, Aceh biasa mengekspor beras untuk kebutuhan seluruh wilayah
Mardhatillah Sumatera Timur. Sekarang kita mengimpor beras dari Burma".
Dalam
impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang sejahtera di bawah pimpinan kelompok
ulama yang ditampilkan kembali. Di masa keemasan itu, hanya orang-orang yang
benar-benar berpengetahuan yang dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern
ini, hampir setiap orang dengan bermodalkan "taplak meja dililitkan di
leher" bisa mengaku berhak untuk disebut ulama.
Daud
Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan.
Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan
janji-janji Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak
pernah ditepati, maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia
kemudian menjadikan Aceh sebagai "Negara Bagian Aceh-Negara Islam
Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di gunung-gemunung
Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal di mata orang-orang Aceh, namun
karena penipuannya terhadap orang Aceh, nama Soekarno identik dengan berhala
yang harus ditumbangkan.
Compton
bisa memahami mengapa orang-orang membandingkan Daud Beureueh dengan Soekarno
yang cemerlang sebagai orator massa. Seandainya keduanya berpidato di sebuah
acara yang sama, konon Soekarno akan menjadi juara kedua jika pendengarnya
orang Aceh, terutama kalau sang "Singa Aceh" sudah mulai gusar dan
marah.
Sementara
ia terus bicara tentang pemerintahan Islam di Aceh, Compton merasa bahwa aneka
kasak-kusuk yang ia bawa dari Medan menjelang Pemilu 1955 telah sangat
menyesatkannya. Ketika Compton menanyakan apakah sikap ini tak mengandung
semacam kontradiksi, Teungku Daud Beureueh menandaskan, sebagai sebuah negara
demokrasi, Indonesia harus tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin
partai-partai Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.
Daud
Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum komunis yang
menginginkan negara Marxis-ateistik, umat Islam yang menghendaki Negara Islam,
dan golongan nasionalis tertentu yang mau menghidupkan kembali Hinduisme-Jawa
(Negara Pancasila). Ia cemas bahwa golongan Hindu dan Marxis sedang mengakar,
tapi mereka sendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti
kalah. Karena alasan ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha
habis-habisan untuk menunda-nunda pelaksanaan pemilu. Ketika itu Teungku Daud
Beureueh masih berharap dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh
seorang Perdana Menteri yang merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian
melabuhkan harapan hanya pada perjuangan fisik. Islam telah dikalahkan secara
diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak memberi manfaat
apapun bagi asersi politik Islam.
Akibat
sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis
oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan
buta --buta yang disengaja oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi pemakaman
yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang
sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler. R William Liddle yang sempat
menghadiri upacara pemakaman Teungku Daud Beureueh menggambarkan bagaimana
mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di
paruh kedua abad keduapuluh. "Saya hadir di situ, antara lain,
sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk mengamati sebuah kejadian yang
bersejarah, yang mungkin akan melambangkan sesuatu yang lebih besar dan penting
dari upacara pemakaman biasa."
Namun,
--menurut penglihatan Liddle sebagai pengamat asing-- dalam kenyataannya,
meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah "meninggalnya
seorang suami dan ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan seorang
pemimpin masyarakat sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari
itu. Seakan-akan dan memang inilah kesimpulan Liddle waktu itu bahwa zaman
kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas.
Bersamaan berpulangnya "Bapak Orang-Orang Aceh", maka Aceh kemudian
memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana
kemaksiatan dan sekulerisme adalah agama baru yang disambut kalangan terpelajar
perkotaannya secara sangat antusias.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar